Kamis, 19 Juni 2025

Pola Pikir Bertumbuh dalam Pembelajaran Mendalam


Hari ini (19/6) adalah hari kedua dalam Bimbingan Teknis Digitalisasi Pembelajaran yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, salah satu materi yang diberikan dalam kegiatan ini adalah mengenai pembelajaran mendalam. Salah satu bagian dari Pembelajaran Mendalam yang akan saya ulas dalam tulisan ini adalah mengenai pola pikir bertumbuh.

Pengantar dalam memasuki materi ini adalah kutipan dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Abdul Mu’ti mengenai pola pikir bertumbuh. “Kalau orang berpikir dengan Growth Mindset maka dia yakin masalah yang hanya sedikit itu jalan keluarnya banyak. Karena itu jangan menyerah, jangan putus asa, yakinlah ada jalan keluarnya,” ujarnya.

Pola pikir bertumbuh (Growth Mindset) merupakan salah satu bagian dalam pembelajaran mendalam. Hal ini menjadi penting dengan melihat fakta hasil survei mindset dalam PISA 2018, Indonesia termasuk salah satu dari enam negara yang memiliki persentase murid dengan pola pikir bertumbuh di bahwan 40%.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan pola pikir? Pola pikir dapat dinyatakan sebagai kumpulan keyakinan atau cara berpikir yang akan menentukan “reaksi dan pemaknaan” seseorang terhadap suatu kejadian atau peristiwa. Cara pandang atau pola pikir akan menentukan tindakan yang diambil seseorang ketika menghadapi suatu kejadian, pola pikir yang positif akan menghasilkan hasil tindakan yang positif pula.

Dalam paparan materi mengenai pola pikir bertumbuh, dinyatakan bahwa pola pikir lebih penting daripada keterampilan. Pola pikir (mindset) merupakan fondasi dari keterampilan (skillset) dan alat (Toolset).

Jenis pola pikir terbagi menjadi dua, pola pikir bertumbuh (growth mindset) dan pola pikir tetap (fixed mindset). Dalam pola pikir bertumbuh, seseorang meyakini bahwa kecerdasan dan keterampilan dapat dikembangkan lewat belajar dan berusaha. Sedangkan pada pola pikir tetap, seseorang meyakini kecerdasan dan keterampilan bersifat tetap yang tidak banyak bisa diubah.

Beberapa perbedaan sikap seseorang antara yang memiliki pola pikir bertumbuh (PPB) dan pola pikir tetap (PPT) antara lain:

  • ketika menghadapi tantangan, orang PPB akan menerima tantangan tersebut karena meyakini mampu menyelesaikannya, sedangkan orang PPT akan menghindar, karena merasa tidak mampu menghadapi tantangan tersebut;
  • ketika mendapatkan rintangan, orang PPB akan bertahan, sedangkan orang PPT akan menyerah;
  • ketika sedang berusaha, orang PPB akan menghasilkan peluang, sedangkan orang PPT akan menghasilkan kemubaziran dari apa yang dilakukannya;
  • ketika mendapatkan kritikan, orang PPB akan menganggapnya sebagai informasi untuk melakukan refleksi dan perbaikan, sedangkan orang PPT akan menganggap kritikan sebagai serangan terhadap dirinya, dan;
  • ketika melihat kesuksesan orang lain, orang PPB akan menjadikan hal tersebut sebagai inspirasi bagi dirinya, sedangkan orang PPT akan menganggap hal tersebut sebagai ancaman terhadap dirinya.

Sebuah riset yang dilakukan oleh PERTS dan Standford University bertajuk The Project of Education Research That Scales menunjukkan bahwa intervensi pola pikir telah memberikan hasil yang sangat baik dalam meningkatkan prestasi akademik siswa.

Pola pikir bertumbuh ini, menurut saya tidak hanya diperuntukkan untuk siswa saja, namun guru juga memerlukan. Guru dengan pola pikir bertumbuh akan tidak mudah menyerah ketika menghadapi suatu tantangan, terus berusaha belajar untuk meningkatkan keterampilan dan kapasitas dirinya, dan pada akhirnya akan menjadi guru yang mampu memberikan dampak positif dalam dunia pendidikan.

Pembelajaran mendalam telah menekankan kesadaran (mindfull), kebermaknaan (meaningfull) dan kegembiraan (joyfull) dalam sebuah proses pembelajaran. tentu mengintegrasikan ketiga hal tersebut dalam kegiatan pembelajaran tidaklah mudah, sehingga adanya pola pikir bertumbuh akan membuat guru senantiasa untuk berpikir positif dan meyakini bahwa semua hambatan pasti ada jalan keluarnya.

Kita tunggu saja, bagaimana pendekatan pembelajaran mendalam yang sedang digalakkan ini apakah mampu diaplikasikan dalam ruang-ruang pembelajaran, dan memberikan dampak yang positif. Jika kita memiliki pola pikir bertumbuh, maka kita sebagai guru tidak akan takut untuk mencoba dan berani menghadapi setiap hambatan ketika berusaha mengaplikasikan pembelajaran mendalam dalam ruang kelas yang diampu.

Digitalisasi Pembelajaran, IFP untuk tiap Satuan Pendidikan di Indonesia


Dalam beberapa hari ini saya mengikuti kegiatan Bimbingan Teknis Digitalisasi Pembelajaran yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Kegiatan ini akan berlangsung selama tiga hari, mulai 18 s.d. 20 Juni 2025, di Hotel Grand Mercure Yogyakarta.

Tulisan ini menceritakan bagaimana kegiatan ini berlangsung, dari sudut pandang pribadi saya. Pada postingan ini saya akan menuliskan apa saja hal-hal yang saya ikuti pada hari pertama kegiatan.

Dari Kabupaten Rembang, ada sembilan sekolah tingkat SMP yang dipilih sebagai peserta kegiatan. Kami datang di lokasi kegiatan sekitar pukul 13.00, setelah menempuh perjalanan darat selama tujuh jam. Begitu sampai, kami segera melakukan proses registrasi, seperti pengumpulan berkas-berkas yang diperlukan, mendapatkan pembagian kamar, dan makan siang 

Pukul 15.30 wib, kegiatan pembukaan dilaksanakan, namun dikarenakan pejabat yang berwenang belum datang, maka kegiatan penjelasan teknis dilaksanakan terlebih dahulu. Namun baru berjalan beberapa saat, penjelasan teknis harus terjeda karena pejabat yang berwenang sudah datang, sehingga dilakukan kegiatan pembukaan acara bimbingan teknis ini.

Tujuan utama kegiatan ini adalah memberikan bimbingan teknis terkait peralatan digital yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu IFP (interactive flat panel). Sekolah yang diundang pada kegiatan ini akan mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa peralatan yang mendukung digitalisasi pembelajaran, dalam hal ini IFP. 

Hal ini tidak terlepas dari Kebijakan Presiden Prabowo yang menurut saya cukup menggebrak, beliau mengatakan setiap satuan pendidikan di Indonesia akan memiliki IFP. Dengan adanya IFP ini maka seluruh satuan pendidikan di Indonesia dapat memberikan pelajaran terbaik kepada para siswa, dapat mengakses konten-konten pendidikan yang bermutu, dan tentu saja menurut saya merupakan usaha untuk meratakan kualitas pendidikan di Indonesia.

IFP adalah sebuah gawai layar sentuh yang berukuran besar, besarnya dapat mencapai 75 inchi. Nantinya IFP ini akan bertindak seperti sebuah gawai tablet raksasa yang dapat digunakan sebagai papan tulis interaktif, sarana mengakses informasi lewat internet, dan berbagai tugas lain. Pada intinya IFP ini adalah sebuah tablet raksasa.

Kebijakan ini memang ambisius, namun saya mengacungi jempol untuk pemerintah yang berani mengambil resiko untuk berusaha meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Tentu saja, seluruh satuan pendidikan di Indonesia tidak akan serentak dalam menerima bantuan IFP ini, penyaluran bantuan ini akan dilaksanakan secara bertahap.

Kegiatan yang saya ikuti ini adalah rangkaian penyaluran IFP untuk tahap pertama, dalam tahapan ini akan ada sekitar 300.000 satuan pendidikan yang akan menerima bantuan. DIkarenakan belum banyak guru yang mengetahui mengenai IFP ini, maka bimbingan teknis ini juga bertujuan untuk melatih para guru dari satuan pendidikan penerima bantuan untuk dapat menggunakan IFP dalam proses pembelajaran.

Hadi Wahyu, selaku pejabat yang membuka acara mengatakan bahwa bantuan ini harus dioptimalkan untuk kegiatan pembelajaran. Jangan sampai IFP ini tidak maksimal digunakan atau bahkan tidak digunakan di satuan pendidikan nanti.

Masih dalam acara pembukaan, salah satu pembicara, Ninik Suryani Setyorini menyatakan landasan berpikir hingga kebijakan ini dibuat. Ninik menyatakan bahwa pendidikan saat ini berjalan di tengah perkembangan teknologi. Pemanfaatan teknologi dalam pendidikan akan mempercepat pencapaian target, memperluas akses, meningkatkan kualitas pendidikan, dan mempercepat distribusi materi atau konten pembelajaran.

Dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia, pada poin ketiga mengenai peningkatan kualitas pengajaran dan pembelajaran, dijabarkan beberapa poin hal yang harus dilaksanakan. Salah satu poin tersebut adalah pemgembangan inovasi pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi digital dan penerapan pedagogi modern.

Diharapkan dengan hadirnya IFP ini maka ruang kelas di seluruh Indonesia akan menjadi Smart Classroom, sebuah kelas yang dapat memfasilitasi proses pembelajaran yang optimal dengan baik untuk semua siswa. Selain itu hadirnya IFP ini juga akan memudahkan semua satuan pendidikan, bahkan di daerah terpencil  untuk mengakses materi atau media pembelajaran. Dengan demikian semoga tujuan Pendidikan Nasional dapat tercapai.

Senin, 09 Juni 2025

Mengenai Penilaian Formatif


Pendidikan secara umum memiliki tujuan untuk menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan berkarakter, hal ini tercantum dalam bagian latar belakang Modul Model Penilaian Formatif 2019. Untuk mencapai tujuan tersebut secara efektif dan efisien, diperlukan proses pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik. Salah satu bagian dari proses pembelajaran tersebut adalah kegiatan penilaian atau asesmen.

Tulisan ini mengacu pada modul Model Penilaian Formatif 2019 yang dikeluarkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan Kemdikbud. Dalam pengantarnya, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Moch. Abduh menyatakan bahwa penilaian formatif memungkinkan guru untuk mengetahui tingkat penguasaan kompetensi peserta didik.

“Penilaian formatif memungkinkan pendidik memperoleh informasi mengenai perkembangan penguasaan kompetensi peserta didik pada setiap tahap pembelajaran yang berguna untuk mengambil tindakan-tindakan, memastikan bahwa setiap peserta didik mencapai penguasaan yang optimum,” ujarnya.

Penilaian formatif dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip, antara lain 1). terintegrasi dengan kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung; 2). melibatkan peserta didik dalam pelaksanaannya; dan 3). tidak hanya berkenaan terhadap penguasaan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan, namun juga motivasi belajar, sikap terhadap pembelajaran, gaya belajar, dan kerjasama dalam proses pembelajaran.

Secara umum proses penilaian terbagi menjadi dua jenis, formatif dan sumatif. penilaian formatif digunakan untuk mengetahui penguasaan peserta didik terhadap kompetensi dan digunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran. Sedangkan penilaian formatif bertujuan untuk mengetahui pencapaian belajar peserta didik dari pembelajaran yang sudah berakhir. Tabel di bawah ini menjelaskan lebih rinci mengenai perbedaan kedua penilaian tersebut.

perbedaan penilaian formatif dan sumatif

Ada banyak teknik yang dapat digunakan dalam penilaian formatif. Merujuk pada modul Model Penilaian Formatif 2019, berikut ini adalah beberapa teknik yang dapat digunakan dalam melakukan penilaian formatif.

1. Observasi

Saat proses pembelajaran berlangsung, guru dapat melakukan observasi untuk mengetahui perkembangan peserta didik, dengan demikian guru dapat mengetahui apa yang sudah atau belum dikuasai peserta didik berdasarkan apa yang dikatakan, dilakukan, dan dihasilkan peserta didik selama proses pembelajaran.

Terdapat beberapa bentuk instrumen yang dapat digunakan guru dalam melakukan observasi, seperti catatan anekdot, buku catatan anekdot, kartu catatan anekdot, dan lembar tempel (sticky notes).  

contoh catatan anekdot

contoh buku catatan anekdot

contoh kartu catatan anekdot

contoh lembar tempel atau sticky notes

2. Bertanya atau Questioning

Jawaban peserta didik terhadap pertanyaan yang diberikan guru dapat memberikan gambaran yang baik tentang kemajuan kompetensi yang dikuasai. Pertanyaan harus dirumuskan dan disampaikan dengan baik secara lisan oleh guru dan peserta didik diberi waktu yang cukup untuk mengingat dan berpikir tentang apa yang telah dipelajari.  

Tingkat kesulitan pertanyaan hendaknya bervariasi dan tidak sekedar menuntut ingatan akan sekumpulan fakta atau angka, tetapi juga mendorong pelibatan proses kognitif tingkat tinggi (higher order thinking skills).  

3. Diskusi

Diskusi dalam kelas dapat memberikan gambaran tentang penguasaan peserta didik terhadap materi yang dipelajari, selain itu diskusi juga membangun pengetahuan dan melatih kemampuan berpikir kritis peserta didik.  

Guru dapat memulai diskusi dengan memberikan pertanyaan terbuka, kemudian menilai pemahaman peserta didik dengan mendengarkan jawaban mereka dan mencatatnya.  

4. Exit/Admit Slips

Exit Slips adalah jawaban tertulis atas pertanyaan yang diberikan kepada peserta didik di akhir pembelajaran untuk mengetahui pengetahuan mereka terhadap konsep inti. Pertanyaan biasanya hanya membutuhkan waktu lima menit untuk dikerjakan peserta didik sebelum pembelajaran berakhir.  

Admit Slips sebenarnya sama dengan Exit Slips, bedanya Admit Slips dilaksanakan di awal pembelajaran. Peserta didik diminta untuk menuliskan komentar pada sebuah kartu di awal pembelajaran. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui tanggapan peserta didik tentang apa yang mereka pelajari atau yang akan ditemui di dalam kelas, serta mengaktifkan pengetahuan awal mereka atau menghubungkan apa yang telah mereka ketahui dan pelajari.  

contoh exit slips

5. Lembar catatan belajar peserta didik

Lembar catatan peserta didik dapat berupa lembar refleksi, lembar tanggapan peserta didik, serta penilaian diri dan penilaian antar teman. Lembar refleksi memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membuat hubungan antara apa yang mereka sudah pelajari, menentukan tujuan, dan melakukan refleksi terhadap proses belajar mereka.  

Lembar tanggapan peserta didik merupakan lembar isian bagi peserta didik untuk menuliskan respons pribadi mereka untuk mengajukan pertanyaan, meramalkan hasil, melakukan refleksi atau perenungan, mengumpulkan kosakata, dan untuk menyatakan pikiran atau pendapat mereka mengenai bacaan tertentu.  

Penilaian Diri dan Penilaian Antarteman menjadikan peserta didik mengevaluasi dirinya sendiri atau teman sekelasnya mengenai kemajuan belajarnya dan melakukan refleksi atas proses pembelajaran mereka. Pendidik dapat memeriksa hasil penilaian diri peserta didik maupun penilaian antar teman untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan peserta didik.

contoh lembar refleksi peserta didik

Seluruh isi tulisan dan gambar dalam postingan ini bersumber dari modul Model Penilaian Formatif 2019, baik yang diambil secara langsung maupun tidak langsung. Untuk keseluruhan modul, anda dapat mengunduh pada tautan di akhir tulisan.

Semoga tulisan ini ada manfaatnya, terima kasih.


Tautan: Modul Model Penilaian Formatif 2019

Minggu, 08 Juni 2025

Refleksi menjelang akhir Tahun Ajaran 2024/2025


Menjelang akhir tahun ajaran 2024/2025, banyak hal yang ingin saya refleksikan mengenai perjalanan selama tahun ajaran ini dan apa saja yang dapat saya ambil pelajaran atau bahan perbaikan untuk tahun ajaran mendatang. Saya tidak tahu harus memulai dari mana, namun saya akan menulis mengalir saja.

Saya akan memulai dari proses belajar mengajar. Harus saya akui bahwa proses pembelajaran yang ideal, yaitu berpusat pada peserta didik belum dapat saya lakukan dengan baik. Jika ditelusuri dari awal, perencanaan pembelajaran yang saya buat belum matang. 

Dalam penentuan tujuan pembelajaran, saya, mengambil langsung dari tujuan pembelajaran yang disediakan platform merdeka mengajar, yang kini sudah berganti nama menjadi Ruang GTK. Tidak salah dan memang diperbolehkan, namun jika saya sekarang bertanya kepada diri saya sendiri apakah tujuan pembelajaran tersebut sesuai dengan kebutuhan saya, maka jawabannya tentu tidak. Seharusnya saya menganalisis sendiri capaian pembelajaran yang harus dicapai, kemudian menurunkannya menjadi tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada.

Tujuan pembelajaran yang tidak ideal ini menjadikan proses pembelajaran tidak maksimal. Dalam pelaksanaannya, saya membuat lagi tujuan pembelajaran dalam modul ajar saya ketika akan mempersiapkan pembelajaran. Tentu saja ini tidak ideal, karena tujuan pembelajaran yang dibuat insidental ini tidak saling terhubung satu sama lain, sehingga proses pembelajaran berfokus pada tiap bab, tidak secara utuh.

Dengan demikian langkah awal yang akan saya coba kerjakan di awal tahun ajaran depan adalah membuat perencanaan, dalam hal ini alur tujuan pembelajaran, yang sesuai dengan kebutuhan. Dimulai dengan menganalisis capaian pembelajaran, menentukan kompetensi yang harus dicapai peserta didik, merumuskan tujuan pembelajaran, dan merumuskan ide kegiatan belajar yang melatih peserta didik untuk kolaboratif, kritis, kreatif, dan ilmiah. Kenapa faktor ilmiah saya masukkan, karena tujuan utama mata pelajaran yang saya ampu, IPA, adalah menanamkan proses berpikir ilmiah pada diri peserta didik. Membiasakan peserta didik untuk melakukan langkah-langkah ilmiah dalam menghadapi atau menyelesaikan suatu masalah.

Dalam kegiatan pembelajaran, saya belum mampu melakukan pembelajaran yang berpusat peserta didik. Hal ini terlihat dari belum terakomodasi nya kebutuhan belajar peserta didik yang beragam, model pembelajaran yang belum relevan dengan kebutuhan zaman sekarang, peserta didik masih pasif dalam diskusi kelas, dan proses asesmen yang belum ideal.

Dalam Pendidikan Guru Penggerak (yang sekarang sudah dihapus), kegiatan pembelajaran harus memfasilitasi keragaman peserta didik, maka dikenal pembelajaran berdiferensiasi. Pendekatan pembelajaran berdiferensiasi sebenarnya adalah suatu gagasan yang bagus, namun harus diakui dalam persiapan dan pelaksanaannya cukup menyita waktu. Namun dengan melihat keragaman peserta didik, pendekatan ini memang mutlak harus dilakukan, jika kita berkomitmen bahwa setiap peserta didik berhak untuk belajar sesuai karakteristik dan kemampuannya. Implikasi dari pendekatan berdiferensiasi ini adalah proses pembelajaran yang cukup melelahkan guru, dan asesmen yang lebih beragam.

Mengenai model pembelajaran, saya mengakui bahwa saya cukup tradisional. Saya harus mulai belajar berubah untuk berani mencoba model pembelajaran yang terkini. Untuk tahun ajaran depan saya merencanakan untuk memprioritaskan model pembelajaran saintifik, inkuiri, pembelajaran berbasis proyek dan pembelajaran berbasis masalah. Keempat model pembelajaran tersebut saya pilih karena cocok dengan pembelajaran IPA, yang menekankan pada proses berpikir ilmiah.

Beberapa masalah yang harus saya selesaikan adalah bagaimana mengatasi kepasifan peserta didik dan meningkatkan minat literasi atau membaca mereka. Mengenai kepasifan, saya tidak tahu mengapa peserta didik sulit untuk diajak berdiskusi, mereka selalu takut untuk menyampaikan pendapat atau jawaban mereka. Pernah saya bertanya, apa yang mereka takutkan sehingga takut menyampaikan pendapat atau jawaban, secara umum jawaban mereka adalah takut salah.

Saya tidak tahu apakah ini adalah budaya yang terbangun di jenjang pendidikan sebelumnya, atau adakah faktor lain. Berulang kali saya menegaskan bahwa tidak masalah jika menjawab dan jawabannya salah, sekali lagi tidak masalah, namun kenyataannya hampir sebagian besar masih diam di kelas selama pembelajaran.

Mungkin juga diperlukan proses pembelajaran yang menyenangkan, dan masalahnya, saya tidak tahu bagaimana untuk membuat suatu pembelajaran IPA menjadi menyenangkan. Masalah lain adalah minat literasi dan belajar yang masih rendah, faktor ini tentu tidak terlepas dari peran keluarga. Kebanyakan peserta didik tidak membaca buku yang ada dan tidak berusaha mencari bacaan lain. Belajar tanpa proses membaca tentu mustahil.

Jika saya menyimpulkan apa yang telah saya tuliskan, maka beberapa hal berikut ini perlu untuk menjadi perhatian saya dalam mempersiapkan tahun ajaran mendatang. Hal tersebut antara lain: membuat perencanaan mengenai tujuan pembelajaran yang relevan; mempersiapkan pembelajaran dengan lebih baik, mulai menentukan kegiatan utama, model pembelajaran yang dilakukan, melakukan asesmen diagnostik, menentukan asesmen formatif yang digunakan, dan tentu saja mempersiapkan alat dan bahan; serta mencari solusi agar peserta didik memiliki kesadaran akan pentingnya belajar, bertanggung jawab pada proses belajarnya, aktif dalam kelas, dan tentu saja menumbuhkan minat literasi dan belajar peserta didik.

Mungkin ini saja tulisan mengenai refleksi saya di akhir tahun ajaran 2024/2025, mungkin ada yang terlupa tidak saya tuliskan. Saya menulis ini agar apa yang ada di otak saya dapat saya keluarkan dan mengkonstruksikan nya secara lebih jelas.

Rabu, 04 Juni 2025

P5 yang terkadang masih disalahpahami


Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) merupakan suatu hal baru yang ada di dalam kurikulum merdeka. Sebuah kegiatan yang diintegrasikan dalam struktur dan muatan kurikulum, sesuatu yang belum pernah ada pada kurikulum-kurikulum sebelumnya. Mumpung kurikulum merdeka belum diganti, saya ingin menulis mengenai P5 dari sudut pandang pribadi.

P5 adalah sebuah program yang bertujuan membentuk karakter peserta didik, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Kegiatan ini dilaksanakan beriringan dengan kegiatan intrakurikuler, dan bukan sebuah mata pelajaran baru. Secara mudah, P5 dilaksanakan dalam bentuk kegiatan yang dikembangkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai tema yang telah ditetapkan pemerintah, untuk menanamkan nilai profil pelajar pancasila kepada peserta didik.

Namun dalam pelaksanaannya, saya melihat ada beberapa miskonsepsi mengenai pelaksanaan P5. Sebagai suatu hal yang baru, maka wajar banyak pihak dalam dunia pendidikan yang memiliki persepsi berbeda-beda mengenai pelaksanaan P5, beberapa ada yang berpendapat bahwa kegiatan tersebut harus menghasilkan output atau produk yang menarik.

Menurut saya, fokus P5 bukan pada produk yang dihasilkan, namun lebih kepada proses. Suatu proses dimana dalam kegiatan tersebut terjadi penanaman nilai-nilai profil pelajar Pancasila pada diri peserta didik. Output dari kegiatan ini adalah perubahan karakter peserta didik menjadi lebih baik, atau setidaknya nilai-nilai profil pelajar pancasila mulai tumbuh pada peserta didik.

Kegiatan P5 dapat dikatakan berhasil jika rangkaian kegiatan yang dilakukan peserta didik selama fase pembelajarannya ini, dapat menumbuhkan nilai-nilai yang diharapkan, seperti Beriman dan Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia; Berkebinekaan Global; Gotong Royong; Mandiri; Bernalar Kritis dan Kreatif.

Dalam sebuah kegiatan P5 bisa saja menghasilkan produk, namun bisa juga tidak, menurut saya. Namun saya melihat bahwa ada sebuah persepsi bahwa suatu kegiatan P5 dikatakan berhasil jika menghasilkan suatu produk, seperti pementasan tari, kreasi produk makanan, karya inovasi dan lainnya. 

Dalam rangkaian kegiatan P5 tersebut kita juga mengenal istilah Gelar Karya, suatu event untuk menunjukkan hasil dari kegiatan P5. Mungkin karena dirasa suatu kegiatan P5 harus mengadakan gelar karya, maka yang menjadi target kegiatan adalah karya yang bisa ditampilkan, dan terkadang ruh penanaman karakter yang seharusnya menjadi inti kegiatan menjadi dikesampingkan. Dengan demikian kegiatan P5 tak ubahnya seperti kegiatan prakarya.

Ada baiknya jika kita melihat kembali apa yang diharapkan dari kegiatan ini, penanaman karakter. Satuan pendidikan bisa membuat kegiatan apa saja yang sesuai tema yang telah ditetapkan, alaskan mengakomodasi penanaman nilai profil pelajar pancasila pada diri peserta didik. Jika kegiatan tersebut menghasilkan suatu produk atau karya yang bisa ditampilkan, maka itu menjadi sebuah bonus.

Selama ini kegiatan P5 dirasa cukup memberatkan, karena kita menjadikan produk atau karya sebagai fokus utama. Satuan pendidikan harus berpikir keras untuk membuat suatu kegiatan yang menghasilkan produk atau karya yang menarik dan beda dengan yang lain. Apalagi dengan masifnya media sosial, maka ada satu lagi beban yang harus dipikirkan, bagaimana kegiatan dan produk tersebut menarik jika dimasukkan dalam media sosial.

Satu lagi, selama ini saya merasa pelibatan peserta didik dalam penentuan kegiatan P5 juga belum maksimal. Menurut saya, kebanyakan yang terjadi adalah satuan pendidikan yang menentukan apa kegiatan yang akan dipilih dan bagaimana pelaksanaannya, peserta didik tinggal mengikuti.

Ada baiknya jika satuan pendidikan mau membuka diri dan melibatkan peserta didik sebagai mitra, minimal untuk menumbuhkan tanggung jawab dan rasa memiliki pada diri peserta didik. Mungkin akan terasa sulit di awal, namun saya merasa kedepannya hal ini akan memberikan dampak positif kepada semua pihak.

Mumpung kurikulum belum berubah, kita dapat mencoba melaksanakan kegiatan P5 sebaik mungkin. Karena boleh jadi kurikulum akan berubah dan kegiatan P5 mungkin akan digantikan dengan sesuatu yang baru, sesuatu yang yang harus kita pelajari lagi dari awal. 

Sebenarnya kurikulum merdeka dan P5 didalamnya dapat dikatakan sudah baik, hanya perlu konsistensi dan pengembangan di beberapa sisi yang masih dianggap kurang. Sekali lagi, fokus pada visi utama dan prosesnya, hasil tentu tidak akan menghianati proses.

Ini adalah sudut pandang saya, jika anda membaca tulisan ini dan memiliki pendapat yang berbeda, tidak menjadi masalah. Semoga ada manfaat dari tulisan yang saya tulis ini.

Pola Pikir Bertumbuh dalam Pembelajaran Mendalam

Hari ini (19/6) adalah hari kedua dalam Bimbingan Teknis Digitalisasi Pembelajaran yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Men...