Minggu, 27 Maret 2022

Just Writing #6 : Kesan Saya Terhadap Empat Buku Ini, Part 1


Beberapa minggu yang lalu saya membuat tantangan untuk diri saya sendiri yaitu untuk konsisten membaca buku dan menulis tulisan. Saya memutuskan untuk membeli keempat buku ini dari sebuah marketplace, dan kenapa harus buku ini? Sebenarnya tidak harus buku ini, alasannya hanya keempat buku ini dijual dalam satu paket sehingga lebih murah.

Tiga dari keempat buku tersebut telah selesai saya baca, dan satu terakhir (warna kuning) masih dalam proses membaca dan sudah mendekati bab akhir buku tersebut. Benang merah dari keempat buku tersebut adalah self improvement, walaupun topik yang disajikan berbeda-beda.

Dalam tulisan ini saya akan mencoba untuk menuliskan kesan dan apa yang saya tangkap dari buku ini.

1. Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat

Di awal buku ini disajikan kisah seseorang yang bercita-cita menjadi penulis namun tidak tercapai, dan dia bekerja sebagai pegawai kantor pos yang berpenghasilan rendah. Dia menjalani hidupnya secara buruk sampai usianya sekitar lima puluh tahun. 

Suatu malam di usia tuanya datang tawaran dan sebuah kesempatan untuk dirinya menjadi penulis. Dia menghadapi dilema apakah harus mengambil kesempatan menjadi penulis, sesuatu yang diidamkannya dari muda namun tidak ada jaminan kesuksesan disana dan bahkan terancam hidup kelaparan. Atau tetap menjalani hidupnya seperti ini yang menyedihkan. Singkat cerita, dia mengambil pilihan pertama.

Buku ini bukan berisi bagaimana menjadi orang yang cuek terhadap dunia sekitar, namun bagaimana menjadi orang yang punya tujuan dan mampu membuat prioritas untuk dirinya. Prioritas yang jernih dan bukan menjadi pengikut arus kebanyakan.

Satu hal yang menjadi perhatian saya dalam buku ini adalah tentang mental korban dan mental pahlawan. Mental korban dapat dikatakan suatu sikap dimana kita beranggapan bahwa orang lain yang harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang menimpa diri kita, sedangakan mental pahlawan adalah sikap seolah-olah kita harus bertanggung jawab terhadap apapun yang sedang menimpa orang lain. Atau dengan bahasa yang lebih mudah, mental korban adalah selalu minta dikasihani atau ditolong, dan mental pahlawan adalah selalu menjadi penolong atau mengambil alih masalah orang.

Yang saya maksud dalam mental korban dan mental pahlawan adalah bagaimana kita merespon dan bertanggung jawab terhadap sesuatu. Saat kita menghadapi sesuatu, maka diri kita sendiri yang bertanggung jawab atas respon kita terhadap suatu masalah. Tidak seharusnya kita mengharapkan orang lain memberikan respon atau mengambil tindakan terhadap masalah yang kita hadapi. Begitu pula sebaliknya, tidak seharusnya pula kita merasa harus bertanggung jawab untuk merespon apa yang sedang menimpa orang lain. Rasa simpati dan empati terhadap orang lain harus ada, namun bukan berarti kita mengambil tindakan atau tanggung jawab atas sesuatu yang tidak menjadi tanggung jawab kita.

2. Blink*

Buku ini membahas bagaimana kita dapat membuat sebuah keputusan yang tepat di waktu yang singkat, hanya sekitar dua detik. Saya melihat bagaimana buku ini membahas bagaimana agar intuisi kita bisa maksimal untuk membuat sebuah penilaian dalam waktu yang singkat terhadap suatu peristiwa.

Saat kita menghadapi suatu peristiwa terkadang ada hal-hal yang muncul dalam pikiran kita seperti kata-kata sepertinya ada yang tidak beres, ini salah, harusnya tidak begini dan lainnya. Alam bawah sadar kita akan bekerja secara tanpa kita sadari mengolah suatu peristiwa yang kita hadapi, dan secara cepat alam bawah sadar mengolah semua informasi yang ada dan menghasilkan suatu penilaian yang kita sebut intuisi. Kebanyakan kita mempunyai intuisi tertentu terhadap sesuatu hal dan kita tidak tahu mengapa, beginilah alam bawah sadar kita bekerja.

Namun tidak selamanya intuisi kita dapat dipercaya, intuisi kadang benar dan kadang salah. Hal ini bergantung bagaimana cara hidup kita. Jika kita terlalu banyak memberikan asupan negatif atau informasi yang salah terhadap otak kita, maka alam bawah sadar kita akan menjadikan semua informasi salah tersebut sebagai rujukan, hasilnya adalah intuisi atau penilaian yang salah.

Namun jika kita memberi asupan yang positif, informasi yang baik, atau konsisten dalam bidang pekerjaan kita maka semua hal itu akan menjadi dasar-dasar membangun intusi yang baik di alam bawah sadar kita.

Jika kita bergaul dengan penjual parfum dan terbiasa mencium bau parfum, maka intusi kita akan kuat jika ada bau yang kurang enak walaupun sedikit. Kita dapat merasakannya. Namun jika kita terbiasa mencium bau apapun, maka kita tidak akan peka atau mengenali bau parfum walaupun itu sedikit.

Intuisi harus dilatih dengan konsistensi. Kita akan menjadi ahli di suatu bidang jika kita konsisten. Seorang juru masak yang senior akan dengan mudah mengetahui sebuah makanan sesuai dengan takaran bahan seharusnya atau tidak, hanya dengan mencicipi setetes kuahnya. Itulah intusinya, dibangun dari konsistensi dan dedikasinya.

***

Tulisan untuk dua buku yang lain akan saya tuliskan di kesempatan selanjutnya. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Koneksi Antar Materi - Kesimpulan dan Refleksi Modul 1.1 : Pemikiran Filosofis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Dalam modul pertama tentang Pemikiran Filosofis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara (KHD) memberikan penjelasan mengenai bagaimana pendidikan seh...