Dalam
kondisi laboratorium, eksperimen hidrolisis ATP hanya dapat menghasilkan panas
untuk menghangatkan air dalam tabung reaksi. Namun pada organisme pembangkitan
panas ini terkadang menguntungkan, misalnya saat tubuh menggigil. Dalam kondisi
ini hidrolisis ATP selama otot berkontraksi digunakan untuk membangkitkan panas
dan menghangatkan tubuh.
Namun
dalam kondisi sel pembangkitan panas saja dapat menjadi suatu penggunaan sumber
daya yang berharga namun tidak efisien. Sebagai gantinya protein-protein sel
menangkap energi yang dilepaskan ATP dalam beberapa cara untuk melakukan tiga
tipe kerja sel, yaitu kimiawi, transpor, dan mekanis.
Misalnya
dengan menggunakan protein spesifik, sel dapat menangkap energi yang dilepaskan
ATP untuk menggerakkan reaksi endergonik yang lain. Jika yang digunakan reaksi endergonik
lebih kecil daripada yang dilepaskan ATP, maka kedua reaksi tersebut dapat
digandengakan (energy coupling), sehingga secara keseluruhan reaksi bersifat eksergonik.
Kunci
penggandengan reaksi eksergonik dan endergonik adalah pembentukan intermediet
terfosforilasi (transfer gugus fosfat dari ATP ke molekul lain, reaktan
misalnya) yang lebih reaktif daripada molekul awal sebelum terfosforilasi.
Kerja
transpor dan kerja mekanis dalam sel hampir selalu memperoleh energi dari
hridrolisis ATP. Hal ini menyebabkan perubahan bentuk protein dan kemampuan
protein dalam berikatan dengan molekul lain.
Pada
sebagian besar kerja mekanis yang melibatkan protein motorik yang “berjalan”
sepanjang sistoskleton terjadi suatu siklus yang diawali oleh pengikatan ATP
secara non kovalen ke protein motorik. Setelah itu ATP dihidrolisis melepaskan
ADP dan P, kemudian suatu molekul ATP lain dapat berikatan dengan sistoskleton
menghasilkan pergerakan protein di sepanjang sistoskleton.